Sekolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak di seluruh dunia. slot qris Namun, bagaimana jadinya jika keputusan untuk masuk sekolah sepenuhnya ada di tangan anak? Apakah mereka akan tetap datang setiap pagi, duduk di bangku kelas, dan mengikuti jadwal pelajaran yang telah ditentukan?
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menyentuh inti dari bagaimana sistem pendidikan dirancang. Apakah sekolah benar-benar menjadi tempat yang diinginkan anak, atau hanya sekadar kewajiban yang harus dijalani?
Sekolah dari Sudut Pandang Anak
Bagi sebagian anak, sekolah adalah tempat bermain, bertemu teman, dan menemukan hal-hal baru. Tapi bagi yang lain, sekolah bisa terasa membosankan, menekan, atau bahkan membingungkan. Banyak anak merasa tidak punya ruang untuk menjadi diri sendiri, karena sistem yang seragam, target nilai yang menekan, dan gaya belajar yang tidak selalu cocok untuk semua orang.
Jika diberi pilihan bebas, sebagian anak mungkin akan memilih untuk tidak masuk sekolah setiap hari. Namun, bukan berarti mereka ingin berhenti belajar. Banyak anak justru menyukai belajar—asal materinya relevan, cara belajarnya menyenangkan, dan mereka diberi peran dalam menentukan prosesnya.
Belajar di Luar Sekolah: Alternatif yang Muncul
Beberapa pendekatan pendidikan alternatif seperti homeschooling, unschooling, atau sekolah alam sudah menunjukkan bahwa anak bisa belajar secara efektif tanpa harus terikat dalam struktur formal sekolah konvensional. Dalam sistem seperti ini, anak-anak terlibat langsung dalam memilih apa yang ingin mereka pelajari, kapan, dan dengan cara apa.
Menariknya, anak-anak yang belajar di luar sistem tradisional tidak serta-merta menjadi malas atau pasif. Sebaliknya, banyak yang justru menunjukkan minat tinggi terhadap topik tertentu, merasa lebih bebas berekspresi, dan mampu berpikir secara mandiri.
Hal ini menunjukkan bahwa keinginan belajar tidak mati ketika anak tidak bersekolah. Yang mungkin perlu dikaji ulang adalah bentuk sekolah itu sendiri, bukan idenya.
Apakah Sekolah Perlu Diubah?
Jika sekolah masih ingin menjadi tempat yang dipilih anak secara sukarela, mungkin sistemnya perlu mengalami perubahan mendasar. Struktur satu arah—guru bicara, murid mencatat—tidak lagi efektif di era ketika informasi bisa diakses kapan saja.
Sekolah bisa berubah menjadi tempat eksplorasi, diskusi, kolaborasi, dan pengembangan diri. Anak bisa diberikan lebih banyak pilihan: memilih proyek, memilih cara belajar, bahkan ikut merancang kegiatan. Dalam suasana seperti ini, kemungkinan besar anak akan tetap memilih untuk datang ke sekolah, bukan karena diwajibkan, tetapi karena merasa dihargai dan diikutsertakan.
Ketakutan dan Tantangan Orang Dewasa
Orang dewasa, baik guru maupun orang tua, sering merasa cemas jika kendali pendidikan diberikan pada anak. Ada ketakutan bahwa anak tidak akan memilih hal yang “berguna”, atau hanya akan bermain dan tidak disiplin.
Namun, rasa ingin tahu adalah bawaan alami manusia. Ketika anak-anak merasa aman dan didukung, mereka akan mencari tahu, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi. Proses ini jauh lebih kuat dibanding tekanan nilai atau hukuman.
Tantangan terbesar bukan pada kemalasan anak, tapi pada sistem yang belum sepenuhnya percaya pada kapasitas anak untuk membuat pilihan yang masuk akal.
Penutup
Jika anak-anak diberi pilihan, mungkin sebagian dari mereka akan memilih untuk tidak datang ke sekolah dalam bentuknya yang sekarang. Tapi itu bukan penolakan terhadap pendidikan—melainkan sinyal bahwa ada yang perlu diubah dalam cara belajar difasilitasi. Sekolah bisa tetap relevan, asalkan mampu berubah menjadi tempat yang dipilih, bukan dipaksakan. Di sanalah pendidikan sejati bisa tumbuh: ketika anak datang karena ingin, bukan karena harus.